Teman, adakah di antara kalian yang dulu saat masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA (atau sederajat), tidak mempelajari bahasa Indonesia?
Tak ditanya, aku yakin jawabannya adalah tidak ada!
Ya. Saat SD, kita belajar bahasa Indonesia selama enam tahun. Masuk SMP, tiap semester selalu ada bahasa Indonesia. Beranjak ke tingkat SMA, lagi-lagi bertemu dengan yang namanya Bahasa Indonesia. Masuk Ujian Nasional pula! Bahkan, ketika melanjutkan studi di universitas di dalam negri, Bahasa Indonesia tak pernah lepas dari mata kuliah wajib. Ah, ada apa dengan Bahasa Indonesia? Bukankah sudah 12 tahun kita (bagi yang sedang kuliah) mempelajarinya? Bukankah telah lama kita menggunakan bahasa yang sudah sangat tidak asing lagi ini? Kenapa tak belajar bahasa Arab atau Cina saja?
Mungkin itu yang pertama kali aku pikirkan ketika berencana mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia semester ini. Ingin melaksanakan kewajiban saja. Karena Bahasa Indonesia itu mata kuliah wajib.
Namun kemudian dosen Bahasa Indonesiaku memberi kami pilihan lain. Agar belajar Bahasa Indonesia tak hanya untuk memenuhi persyaratan kuliah wajib. Agar tak ada lagi perasaan mengeluh, lagi-lagi kami harus belajar sesuatu yang telah kami pelajari dan gunakan selama lebih dari 12 tahun!
Teman, pernah membayangkan, kira-kira apa ya yang menjadi ciri kita sebagai orang Indonesia?
Ciri fisik, kah? Tinggi rata-rata (kalau tidak mau dipanggil terlalu dekat ke tanah), rambut hitam dengan hidung yang pesek dan kulit sawo matang? Ah, tidak semua orang Indonesia berciri demikian. Dan tidak semua orang yang bercirikan demikian kemudian otomatis menjadi orang Indonesia. Kita serumpun dengan orang Malaysia, orang Brunei, orang Filipina, sehingga tak mungkin kemudian ciri fisik menjadi penanda kita, bukan?
Okelah. Pakaian? Tidak. Tentu tidak. Karena kemudian pakaian terlalu cepat berkembang. Karena kemudian bangsa kita adalah bangsa peniru. Semua yang berada di luar (terutama negara barat dan Jepang atau Korea) dengan cepat kita adopsi. Bahkan sampai tingkat desa dan pelosok pun, tak jarang kita melihat "turis lokal" di antara mereka. So, susah mencirikan bangsa kita dengan pakaiannya.
Ya. Tak ditanya, mungkin bahasa Indonesia lah yang mencirikan kita sebagai bangsa Indonesia. Mungkin malah satu-satunya. That's why then we must know our language.
Itu baru satu. Lalu selanjutnya.
Pernah merasa kita memiliki ide yang begitu cemerlang, namun susah sekali mengatakannya kepada orang lain? Pernah mengalami memiliki pemikiran yang luar biasa hebat, namun ketika menyampaikannya di depan umum, susah sekali memilih kata-kata? Pernahkah diajak berdebat, kita sudah tahu alasan yang tepat untuk menyanggah pendapat rival kita, namun lagi-lagi dengan mudah ia patahkan karena kita yang tak mampu membela pendapat kita?
Ya. Itu hal kedua. Kenapa kemudian begitu pentingnya mempelajari bagaimana berbahasa. Sehingga tak akan lagi terjadi kejadian seperti itu. Sehingga kita bisa mengeluarkan jurus-jurus ampuh, yang walaupun mungkin salah, tapi tetap terlihat meyakinkan.
Itu sudah kedua. Kita menuju ke yang ketiga.
Tak sedikit kita lihat orang-orang baik di sekeliling kita. Sikapnya yang santun, diamnya yang menggugah, ilmunya yang tinggi. Namun di mata masyarakat ia tak dianggap. Mungkin karena tuturnya yang kurang tepat. Banyak pula para maling-maling di sekitar kita. Mungkin ia berdasi, menggunakan mobil mewah, tinggal di rumah mewah pula. Dan kita sadar ia adalah maling. Namun ternyata ia masih juga mendapat tempat di hati orang. Mungkin karena tutur katanya berwibawa. Mungkin tutur katanya mengena hati orang lain.
Ya. Karena kemudian tutur kata lah yang membuat penilaian orang terhadap kita berbeda. Karena tutur kita lah yang mereka dengar. Bukan hanya derum mobil mewah kita. Atau nada dering ponsel baru kita.
Aku tersenyum mendengar penjelasan dosen tersebut. Dosen gagah dengan sikap yang gagah pula. Terima kasih Pak, telah memberiku pemahaman, sehingga setidaknya aku sedikit bertambah ikhlas mempelajari bahasa yang lagi-lagi dan lagi kupelajari ini.
Diam itu memang. Tapi bila berbicara digunakan untuk menyampaikan kebenaran, kenapa tidak?
4 komen:
terlalu diam juga memang tdk bisa jadi pem-benar-an. bahasa indonesia yg sudah dipelajari selama itu juga masih belum bisa jago bahasa sendiri, apalagi hanya beberapa tahun saja. hm, wallahua'lam
sbenarnya memang berlebihan sekali memasukkan bahasa indonesia sebagai mata pelajaran wajib selama kita belajar. Sebenarnya jika efektif sistem pengajarannya kita bisa menguasainya saat masih usia dini..
Ohh.. ya salah satu keunggulan Bangsa kita adalah memiliki 700 lebih rumpun bahasa, tapi hampir setiap penduduknya menguasai dua bahasa..(Yang ini susah di tiru olh negara luar)
Aiiih, benarkah berlebihan?
Saya rasa tidak. Memang pantas kemudian bila ia dijadikan mata pelajaran wajib. Bagaimanapun sangat sayang bila kita pintar Matematika atau Kimia namun tak mampu menyampaikan ilmu kita kepada orang lain
Mungkin yang perlu dibenahi adalah motivasi yang belajar dan bagaimana agar yang mengajar bisa juga menurunkan semangat belajar itu..
betul sekali,, sy setuju dengan pendapat saudara Helmy Hidayat,,,
Posting Komentar