Jumat, 17 Desember 2010

Sebuah Seruan

Teman-teman, coba bayangkan, bila teman-teman merindukan seseorang (anggaplah pacar, walau saya akan mengikutinya dengan kata na'udzuubillaah), apa yang akan teman-teman lakukan saat sendiri di kamar?

Sebagai orang yang pernah merasakannya (saya anggap sebagai salah satu bagian hidup saya yang harus diikuti dengan astaghfirullaah, dan mengingatnya pun membuat saya ingin mengucapkan astaghfirullaah lagi..

), saya sedikit banyak tahu lah. Waktu itu saya hanya bisa terdiam, memikirkan si dia (astaghfirullaah) sembari melihat fotonya (astaghfirullaah), melihat HP, menunggu datang pesan, atau bahkan telpon darinya (astaghfirullaah), dan begitu seterusnya (astaghfirullaah). Nah, bagaimana dengan teman sendiri, apakah berbeda atau sama saja?

Yah, seperti itulah. Bila yang tercinta memanggil kita, maka kita akan bergegas menuju padanya. Bahkan, bila pun ia tak memanggil kita, yang kita rindukan adalah panggilannya.

Namun, sadarkah teman-teman, ada yang memanggil kita setiap hari, dengan penuh cinta, penuh rindu, namun tak sedikit di antara kita yang mengacuhkannya?

Itulah kemudian yang kita sebut adzan. Panggilan cinta Allah lewat lisan muadzdzin-Nya. Panggilan rindu akan pertemuan dengan hamba-Nya. Yang sedikit memang (benar, bukan?) yang mau mengacuhkannya. Kebanyakan, hanya mendengar sesaat, melanjutkan aktivitasnya, kemudian melupakannya. Tak ada unsur kesakralan di sana. Yang ada hanya penanda waktu bahwa ada beban tambahan (shalat). Itu saja.

Astaghfirullaah..

Bayangkan, teman, setelah Rasulullah SAW wafat, Bilal hanya pernah adzan sekali. Itu pun tidak selesai. Karena ia menghayati adzan tersebut. Karena ia memahami apa isinya.

Bayangkan, teman, Ibnu Abbas sering menangis ketika mendengar adzan. Yang beliau ucapkan hanyalah, "Seandainya semua orang tahu makna seruan muadzin itu, pasti tidak akan dapat beristirahat dan tak akan dapat tidur nyenyak.". Nah, lho!


Coba teman-teman bayangkan,


Saat muadzdzin mengucapkan "Allaahu akbar, allaahu akbar!!", ia mengingatkan kita, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar! Maka tidaklah ada yang lebih besar daripada Allah. Tidak ada yang kemudian lebih kita pilih daripada-Nya. Ingat, Allah Maha Besar! Main game itu kecil, play station itu kecil, sepak bola itu kecil, nonton itu kecil! Hanyalah Allah Yang Maha Besar!


Allaahu Akbar!


Lalu, bila ternyata pengingat itu belum mempan, sang muadzdzin pun melanjutkan kalimatnya. "Asyhadu an Laa ilaaha illaallaah!!" Ya, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah! Hanya Allah semata. Maka, janganlah kalian menyembah AREMA, jangan menyembah TIMNAS, jangan menyembah PES 2011, jangan menyembah TIDUR, jangan dahulukan mereka dan yang lain daripada Allah, karena Allah lah yang kita sembah, bukan mereka. Karena kita sudah bersaksi, karena kita sudah berjanji..


Masih belum mempan? Maka diucapkan lah "Asyhadu anna Muhammad Rasulullaah!" Ingatlah, Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah! Bahwa ia lah teladan terbaik umat manusia. Bahwa ia lah manusia (yang seharusnya) paling kita cinta. Namun, seperti apa kah kemudian sifat ittibaa' terhadap sunnah beliau? Apakah kemudian ketika mendengar adzan, kita melanjutkan mendengarkan MP3 kita itu termasuk ittibaa'? Apakah kemudian, bila kita mengabaikan seruan-Nya, kita pantas menganggap diri kita sebagai bagian dari umat Rasulullah SAW?


Dan, masih kah belum mempan? Maka, secara terang-terangan muadzdzin mengucapkan, "Hayya 'alash Shalaah!" Marilah kita shalat! Karena shalat lah tiang agama, yang menentukan kokoh tidaknya agama kita. Karena shalat lah ibadah utama. Yang pertama kali ditanya ketika yaumul hisab. Karena shalat lah sebagai pembeda, apakah kita termasuk orang beriman, atau kah mungkin kita termasuk yang ingkar?


Masih belum beranjakkah dirimu teman? Sang muadzdzin pun menyahut, "Hayya 'alal Falaah!" Marilah menuju kemenangan! Ya, karena di balik shalat yang kita anggap sebagai beban tersebut, di balik rutinitas menjemukan namun seringkali terpaksa kita lakukan tersebut, ada kemenangan yang begitu besar. Kemenangan, yang seandainya diketahui oleh semua raja-raja di dunia, maka mereka akan berperang untuk mendapatkannya. Namun, apakah engkau tidak iri dengan kemenangan ini wahai teman?


Ah, ternyata engkau belum tergugah. Maka diingatkanlah sekali lagi oleh sang muadzdzin, "Allaahu Akbar!" Ingatlah, engkau itu kecil. Makhluk itu kecil. Allah lah Yang Maha Besar. Bahwa bila semua makhluk menyembah-Nya, hal itu tidak akan menambah dari kebesaran-Nya. Dan walaupun semua makhluk mengingkari-Nya, itu pun tidak akan mengurangi secuil pun dari kebesaran-Nya. Karena Allah Maha Besar.


Dan, kebanyakan manusia masih belum tergerak hatinya. Sang muadzdzin mengucapkan satu kalimat pamungkas, sebagai kesimpulan dari semua yang telah ia ucapkan, "Laa ilaaha illa Allaah". Tiada Tuhan selain Allah. Tiada pencipta selain Allah. Tiada pemberi rizki, yang memberikan kalian rizki selain Allah. Tiada yang Maha Penyayang, Maha Pengasih, selain Allah. Tiada yang pantas disembah, dipuja, diagungkan, selain Allah. Terlepas apakah kemudian dirimu menyadarinya atau tidak. Terlepas apakah engkau peduli apa tidak. Allah tetaplah Yang Esa.


Akhirnya muadzdzin selesai menyeru kebaikan kepada manusia. Tinggal kita melihat, siapakah yang tergerak, siapakah yang berleha-leha. Siapakah yang ingin bercanda dengan rabb-Nya, siapakah yang malah menjauhi-Nya.


Kadang kita perlu merenung. Sebesar apa Allah di hati kita. Jangan sampai kemudian panggilan orang tersayang lebih kita harapkan daripada panggilan-Nya yang agung. Atau pertemuan dengan mereka lebih kita rindukan daripada pertemuan dengan-Nya.


Ya Allah..


Ampuni kami..





3 komen:

Ajeng Sari Rahayu mengatakan...

Terima kasih mas pesannya..lewat artikel ini.

Amin doanya...
Maaf saya telat mampir..maaf.

Helmy Hidayat mengatakan...

Sama2 dan tidak apa2. Terima kasih pula sudah menyempatkan diri mampir ke blog ini ^^

nisaisnumberadmirer mengatakan...

Astaghfirullah..
Naudzubillah...
Astaghfirullah..
Naudzubillah...
Astaghfirullah..
Naudzubillah...

Posting Komentar