Senin, 20 Desember 2010

Ya Rasulullah


Ya Rasulullah Ya Habiiballah
Tak pernah kutatap wajahmu
Ya Rasulullah Ya Habiballah

Kami rindu padamu


Ah, setiap kali kudengar lagu yang dikumandangkan oleh Raihan ini, selalu ada perasaan baru dalam diriku. Perasaan, yang, entahlah, begitu mengena. Begitu jujur menggambarkan kepribadian Rasulullah. Begitu indah.

Coba simak perkataan beliau saw, menjawab keheranan Aisyah, mengapa Rasulullah saw berdiri shalat malam hingga kakinya bengkak dan berpayah-payah? Bukankah semua dosanya, baik yang telah lalu, maupun yang akan datang, sudah mendapatkan jaminan ampunan? Bukankah, ia telah dijuluki yang ma’shum? Bukankah, tanpa diragukan lagi, ia adalah manusia terbaik yang ada? Dan, sungguh, ia memang membuktikan bahwa ia memang layak mendapatkan jaminan ampunan. Ia memang layak mendapatkan gelar ma’shum. Ia memang layak disebut manusia terbaik. Bagaimana tidak, lihatlah jawabannya.

 “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Dengarkan, wahai saudaraku! Rasulullah tidak mengatakan, “aku akan bersabar dengannya,” atau mengatakan “ini perintah Tuhanku.” Ia tidak menjawab bahwa itu bukan kehendaknya, bahwa bila diberi pilihan, ia memilih untuk tidak melakukannya. Yang ia katakan adalah sebaik-baik perkataan yang keluar dari pribadi yang terbaik, “Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang bersyukur?” Tidakkah kau mendengar nada rindu dalam perkataan tersebut?

“Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Tentu boleh, ya Habiibullah! Tentu! Tak ingin kami menghalangimu menghadap Tuhanmu yang juga merindukanmu. Tentu! Hanya saja, kami sedang menangisi diri kami sendiri.

Kami menangisi makanan yang kami makan tanpa pernah berpikir, ia adalah anugerah Tuhan. Kami menangisi minuman pelepas dahaga tanpa pernah ingin tahu, siapa yang memberikan. Kami menangisi waktu luang yang begitu banyak, tanpa pernah mau tersadar untuk memanfaatkan. Kami menangisi hari-hari yang kami isi dengan kesia-siaan, padahal tahu bahwa akhirnya semakin terang. Kami menangisi kebodohan kami. Kami menangisi keegoisan kami. Ah, begitu indahkah dunia ini bagi kami?

“Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Saat manusia tertidur, engkau dan orang-orang yang mengikutimu, sedang bercanda ria dengan Tuhanmu. Engkau menceritakan harimu. Engkau sampaikan harapanmu. Harapan akan rahmat Allah yang begitu luas. Engkau beritakan ketakutanmu. Takut akan murka-Nya yang begitu dahsyat. Ah, betapa nikmatnya engkau. Lalu kami, saat itu, saat engkau bercumbu itu,apa yang kami lakukan?

“Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Ya Allah, ampunilah kami. Kami memang tak mampu bersyukur sebagaimana kekasih-Mu bersyukur kepada-Mu. Kami memang tak mampu menahan nafsu dan syaithan laiknya kekasih-Mu yang tak akan pernah terbujuk godaannya. Kami memang tak mampu. Karena itu ampunilah kami, ya Allah. Ampuni kesalahan kami. Ampuni kebodohan kami, keegoisan kami, kepura-puraan kami. Dan, jadikanlah kami sebagai umat kekasihmu, umat yang mencintai-Mu dan mencintainya. Dan terimalah kami, walau kami sangat jauh dari kriteriamu, tapi, ya Allah, kami mohon, masukkanlah dan terimalah kami semua ke dalam surga-Mu.


Amin..







30 Juni 2010

0 komen:

Posting Komentar