Ya Rasulullah Ya Habiiballah
Tak pernah kutatap wajahmu
Ya Rasulullah Ya Habiballah
Kami rindu padamu
Ah,
setiap kali kudengar lagu yang dikumandangkan oleh Raihan ini, selalu ada
perasaan baru dalam diriku. Perasaan, yang, entahlah, begitu mengena. Begitu
jujur menggambarkan kepribadian Rasulullah. Begitu indah.
Coba
simak perkataan beliau saw, menjawab keheranan Aisyah, mengapa Rasulullah saw
berdiri shalat malam hingga kakinya bengkak dan berpayah-payah? Bukankah semua
dosanya, baik yang telah lalu, maupun yang akan datang, sudah mendapatkan
jaminan ampunan? Bukankah, ia telah dijuluki yang ma’shum? Bukankah, tanpa
diragukan lagi, ia adalah manusia terbaik yang ada? Dan, sungguh, ia memang
membuktikan bahwa ia memang layak mendapatkan jaminan ampunan. Ia memang layak
mendapatkan gelar ma’shum. Ia memang layak disebut manusia terbaik. Bagaimana
tidak, lihatlah jawabannya.
“Tidak
bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Dengarkan,
wahai saudaraku! Rasulullah tidak mengatakan, “aku akan bersabar dengannya,” atau mengatakan “ini perintah Tuhanku.” Ia tidak menjawab bahwa itu bukan
kehendaknya, bahwa bila diberi pilihan, ia memilih untuk tidak melakukannya.
Yang ia katakan adalah sebaik-baik perkataan yang keluar dari pribadi yang
terbaik, “Tidak bolehkan aku menjadi
hamba yang bersyukur?” Tidakkah kau mendengar nada rindu dalam perkataan
tersebut?
“Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang
bersyukur?”
Tentu
boleh, ya Habiibullah! Tentu! Tak ingin kami menghalangimu menghadap Tuhanmu
yang juga merindukanmu. Tentu! Hanya saja, kami sedang menangisi diri kami
sendiri.
Kami
menangisi makanan yang kami makan tanpa pernah berpikir, ia adalah anugerah
Tuhan. Kami menangisi minuman pelepas dahaga tanpa pernah ingin tahu, siapa
yang memberikan. Kami menangisi waktu luang yang begitu banyak, tanpa pernah
mau tersadar untuk memanfaatkan. Kami menangisi hari-hari yang kami isi dengan
kesia-siaan, padahal tahu bahwa akhirnya semakin terang. Kami menangisi
kebodohan kami. Kami menangisi keegoisan kami. Ah, begitu indahkah dunia ini
bagi kami?
“Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang
bersyukur?”
Saat
manusia tertidur, engkau dan orang-orang yang mengikutimu, sedang bercanda ria
dengan Tuhanmu. Engkau menceritakan harimu. Engkau sampaikan harapanmu. Harapan
akan rahmat Allah yang begitu luas. Engkau beritakan ketakutanmu. Takut akan
murka-Nya yang begitu dahsyat. Ah, betapa nikmatnya engkau. Lalu kami, saat
itu, saat engkau bercumbu itu,apa yang kami lakukan?
“Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang
bersyukur?”
Ya
Allah, ampunilah kami. Kami memang tak mampu bersyukur sebagaimana kekasih-Mu
bersyukur kepada-Mu. Kami memang tak mampu menahan nafsu dan syaithan laiknya
kekasih-Mu yang tak akan pernah terbujuk godaannya. Kami memang tak mampu.
Karena itu ampunilah kami, ya Allah. Ampuni kesalahan kami. Ampuni kebodohan
kami, keegoisan kami, kepura-puraan kami. Dan, jadikanlah kami sebagai umat
kekasihmu, umat yang mencintai-Mu dan mencintainya. Dan terimalah kami, walau
kami sangat jauh dari kriteriamu, tapi, ya Allah, kami mohon, masukkanlah dan
terimalah kami semua ke dalam surga-Mu.
Amin..
30 Juni 2010



0 komen:
Posting Komentar