Teringat salah satu pertanyaan aneh yang saya dapatkan dari seorang teman. Pertanyaan yang biasa, namun jarang kita pikirkan. "Mengapa kita takut akan hujan?"
Saya berpikir. Takut basah, kah? Teman saya pun menggeleng tersenyum. Ah, mungkin takut sakit. Kalau basah-basah kan bisa sakit. Teman saya kembali mengeleng, kini dengan senyuman yang semakin lebar. Hemm.. tak habis pikir. Kira-kira kenapa ya? Saya tahu jawabannya akan "GJ", tapi tidak akan keluar dari logika. Namun apa? Saya masih kebingungan, dan akhirnya menyerah juga dengan pertanyaan tersebut.
"Karena keroyokan." teman saya pun tersenyum. Namun saya masih bingung, dan ia menangkap kebingungan saya. "Karena hujannya keroyokan. Coba, seandainya hujannya datang satu-satu, tidak keroyokan, datang samaan, mana perlu kita berlari dikejar hujan."
Yupz, benar perkataan dari temanku ini. Kalau saja hujan tidak berkerja sama (sepertinya kata keroyokan terkesan negatif ya?), tidak berkerja dalam jama'ah, tentu keberadaannya menjadi hal yang tak dianggap. Namun, lihatlah, bila tiap tetesnya turun dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan, tidak semaunya, maka ia menjadi hal yang begitu diharapkan, sekaligus terkadang karena ulah manusia menjadi ketakutan yang luar biasa.
Ya. Kerja dalam kelompok.
Yupz, benar perkataan dari temanku ini. Kalau saja hujan tidak berkerja sama (sepertinya kata keroyokan terkesan negatif ya?), tidak berkerja dalam jama'ah, tentu keberadaannya menjadi hal yang tak dianggap. Namun, lihatlah, bila tiap tetesnya turun dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan, tidak semaunya, maka ia menjadi hal yang begitu diharapkan, sekaligus terkadang karena ulah manusia menjadi ketakutan yang luar biasa.
Ya. Kerja dalam kelompok.
***
Tersebutlah seorang pemuda yang hidup pada masa kekhalifahan 'Umar ibn Khattab, sang pembeda antara yang haq dengan yang bathil. Di saat yang masih begitu dekat dengan kenabian tersebut, di saat pemimpinnya adalah orang yang begitu amanah, ia begitu menawan, bersinar akan akhlaknya. Tak terlihat sedikit pun cela dalam pribadinya. Hingga ia menimbulkan decak kagum di antara orang-orang yang mencintainya.
Suatu hari, dalam shalat berjama'ah shubuh, sang khalifah merasa kehilangan dirinya. Ah, kemana kah pemuda yang begitu luar biasa tersebut, pikir sang khalifah. Terbersit pikiran buruk dalam kalbu. Namun segera ditepisnya. Setelah melakukan semua sunnah selesai shalat subuh, bergegaslah khalifah yang agung ini menuju rumah sang pemuda tersebut.
Ya Allah, berkahilah kami dengan pemimpin yang bahkan menuju rumah kami ketika kami tidak shalat subuh berjama'ah..
Dan tibalah ia di depan rumah sang pemuda tersebut. Ditanyakan perihal mengapa sang pemuda tersebut tidak shalat masjid pagi ini. Sang istri menjawab, bahwa sang suami telah shalat malam hingga semalaman, hingga menjelang fajar, hingga ia kepayahan. Sehingga, saking payahnya, ia pun akhirnya shalat di rumahnya saja.
Sang khalifah merah padam. Dengan bijak ia menyampaikan, "Sungguh, shalat subuh berjama'ah lebih baik daripada shalat sunnah semalaman."
***
Benarlah orang yang hatinya terjaga tersebut. Benarlah sosok yang bayangannya saja ditakuti syaithan ini. Benarlah orang yang memikul sendiri beras zakat di punggungnya tersebut. Benarlah orang yang Islamnya ini pun memuliakan Islam. Sungguh, shalat subuh berjama'ah lebih baik daripada shalat malam (tahajjud) dikerjakan semalaman, dengan penuh penghayatan seperti pemuda tersebut, namun akhirnya shalat subuh berjama'ah ia tinggalkan.
Sedikit logika, saudaraku. Bila kita tanyakan, ibadah apa sebenarnya yang paling wajib di antara lima rukun Islam? Setelah syahadat, tentu kita akan katakan shalat. Karena shalat lah yang membedakan apakah ia muslim atau kafir. Apakah ia berserah diri ataukah ia ingkar. Next question, lalu di antara begitu banyak shalat sunnah, yang boleh ditinggalkan tersebut, shalat apakah yang paling utama? Lagi-lagi jawabannya jelas. Shalat tahajjud. Shalat di saat Allah turun ke langit dunia, mengabulkan semua permintaan orang-orang yang berdoa pada saat itu. Tak ada shalat yang lebih sunnah. Bila ada yang utama, maka tingkatannya sudah wajib. Betul?
Sekarang, kita lihat keutamaan shalat subuh berjama'ah (shalat subuh berjama'ah, berjama'ah) dibandingkan dengan shalat tahajjud semalaman. Berdasarkan kisah tersebut, terlihat bahwa shalat subuh berjama'ah lebih utama, bukan? Shalat berjama'ah lebih baik daripada shalat paling sunnah sekalipun. Lalu, hukum shalat berjama'ah, itu, tentulah wajib, bukan?
Teman, menurutku pun begitu. Shalat jama'ah bukan lagi berada dalam tingkatan sunnah mu'akkad. Sunnah yang sangat dianjurkan. Karena Rasulullah pun tak pernah meninggalkan shalat Jama'ah. Bukankah Rasulullah tidak memberikan keringanan kepada Abdullah ibn Ummi Maktum, yang buta, untuk tidak shalat berjama'ah? Lalu bagaimana denganmu, saudaraku?
Padahal, dalam shalat berjama'ah lah syiar keislaman akan tampak. Ketika berbaris merapat, mengikuti komando dari imam lah kemudian kebaikan Islam akan terasa. Dalam tiap gerakan makmum lah terdapat getaran-getaran penolak bala. Dalam tiap bacaan imam lah keberkahan berlimpah ruah.
Karena shalat pun perlu dalam kelompok. Shalat perlu berjama'ah pula.
Bukankah, kita tidak tahu apakah tiap shalat kita akan diterima? Mungkin kewajiban kita telah sempurna, tapi apakah ia akan membawa kebaikan pada kita? Padahal, kebaikan shalat berjama'ah, bila satu orang saja yang diterima shalatnya, maka yang lain pun akan diterima pula. Bila tidak ada satupun, maka semuanya pun diampuni.
Bukankah, kita tidak tahu sebesar apa kebaikan yang kita dapatkan dari shalat tersebut? Kebaikan shalat memang besar, seandainya kita lakukan dengan kehadiran hati dan kebaikan perbuatan. Namun, kebaikan yang sulit didapat itu, akankah kita mencapainya? Mengapa kita tidak melipatgandakan saja dengan angka 25 atau 27 derajat? Padahal, satu derajat di sisi Allah, kita tidak tahu seperti apa.
Dan, demikian pula dengan bukankah-bukankah yang lain..
Telah aku sampaikan. Ya Allah, saksikanlah..
Malang, 16 Januari 2011
3 komen:
Nice..^,^..
Ketika imam salah dalam membaca ayat, makmum mengingatkan. Begitulah seharusnya dalam kehidupan ini.. Bukan seperti sekarang ini..imam salah, makmum menyalahkan.. Imam, kan, juga manusia..wajar salah..kita sebagai makmum yang mengingatkan.. Ban yang sudah kempes, kok, dikempesi... Kasihan tuh, 'Imam'...
keren bos.. hujan emang jd kekhawatiran tuk manusia kalau keroyokan..
@ Nisa : setuju,setuju. Wah, bisa menjadi tulisan baru tuh. Syukrn inspirasiny
@ Huda : kalau tidak keroyokan bukan hujan namanya :D
Posting Komentar