Mushab bin Umair namanya. Seorang
remaja Quraisy terkemuka, seorang pemuda yang paling tampan berseri wajahnya,
penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.
Berasal dari keluarga yang
terhormat. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Mekkah yang beruntung
dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagaimana yang dialami
Mushab bin Umair. Kesehariannya, tidaklah ia berpakaian melainkan dengan
pakaian yang terbagus. Minyak wangi pun menjadi bagiannya pula sehingga
tidaklah kita akan menemukannya saat itu kecuali ia dalam keadaan wangi. Tak heran
jika pemuda yang biasa hidup mewah dan manja ini, menjadi buah bibir
gadis-gadis Mekkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan.
Hingga kemudian tersiarlah kabar
yang tersebar luas di kalangan warga Mekkah mengenai Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW yang membawa Islam. Mushab bin Umair pun tertarik ingin tahu. Ia
pun mendatangi majelis Rasulullah, dan ia pun masuk Islam. Ibunya (yang masih
kafir) pun murka mengetahui keislaman putranya. Dipenjarakanlah anaknya di
sudut rumah, berharap agar putranya kembali ke agama berhala. Namun Mushab bin
Umair sudahlah kokoh imannya dalam berIslam. Sehingga singkat kata, diusirlah
Mushab sambil berkata, “Pergilah sesuka
hatimu! Aku bukan ibumu lagi!”. Mushab pun meninggalkan ibunya dengan air
mata.
Demikian Mushab memilih
meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu. Pemuda ganteng
dan parlente itu, kini memakai jubbah using yang bertambal-tambal. Para sahabat
sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya
basah karena duka memandang Mushab yang sekarang. Padahal belum lagi hilang
dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum Islam – tak ubahnya bagaikan kembang
di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Rasulullah pun berkata tentang
Mushab, “Dahulu saya melihat Mushab ini taka
da yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian
ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
***
“Muda hura-hura, tua kaya-raya,
mati masuk surga”.
Hemm.. siapa sih yang tak kenal
dengan semboyan itu? Tentulah idaman setiap dari kita. Habis, siapa sih yang tak
mau? Saya pun juga mau.
Namun sayangnya, tak banyak orang
yang seberuntung kondisi di atas. Tak semua kita dibesarkan di keluarga mewah. Tak
semua dari kita akan tahu bahwa kita kelak akan menjadi kaya. Masuk surga? Ini apalagi.
Namun jika semisal kita diberi
satu dari tiga opsi di atas, manakah yang akan kita pilih? Saya yakin, meski ia
seorang pemabuk, penjudi, atau koruptor kelas tinggi sekalipun, kesemuanya dari
kita akan memilih yang terakhir. Mati masuk surga.
Dan memang inilah jalan pilihan
sang selebritis Mekkah. Mushab bisa saja memilih dua yang terawal. Sungguh tak
sulit baginya mendapatkan kedua hal tersebut. Namun jalan keimanan telah
membuatnya memilih akhirat sebagai cita-citanya yang sejati.
Sayangnya kita seringkali lupa bahwa
kita pun diberi pilihan itu. Seringkali pula kita berharap enak-enakan saja
tanpa mau berusaha. Padahal jangan harap, bahwa jalan menuju cita-cita kita
akan mulus. Sama halnya ketika naik gunung. Jalan menuju puncak gunung adalah
jalan yang berat. Jalan yang lama, berat dan melelahkan. Sangat berbeda halnya
ketika kita turun gunung.
Ada sebuah nasehat dari ustadz
Rahmat Abdullah. “Allah SWT akan senantiasa menguji kita pada titik terlemah
kita. Orang yang lemah dalam masalah uang, namun kuat dalam masalah jabatan dan
wanita, tidak akan pernah diuji dengan wanita dan jabatan. Orang yang
senantiasa mudah tersinggung dan marah, maka ia akan selalu diuji oleh Allah
dengan dipertemukan dengan orang-orang yang senantiasa membuatnya tersinggung
dan marah. Sampai ia berhasil memperbaiki kelemahannya itu dan tidak lagi mudah
tersinggung dan marah.”
Dan Mushab pun diuji dengan
ibunya yang menentang keimanannya. Mushab pun diuji untuk berlepas dari semua
kemewahan dan gemerlap yang selama ini didapat dari ibunya. Semata-mata untuk
jalan keimanan. Untuk surga yang didambakannya.
Dan Mushab pun berhasil! Ia pun
syahid di medan perang Uhud. Sang pemuda tampan ini syahid dengan hanya
meninggalkan sehelai kain Burdah yang tak cukup untuk menutupi jenazahnya.
Jadi sahabat, jika dari tiga opsi
tadi kita memilih “Mati masuk surga”, kenapa pula kita terlalu malas untuk
meraihnya?
Temukan apa kelebihanmu. Kalahkan
segenap kelemahanmu. Lalu berprestasilah untuk akhiratmu. Lalu kejarlah
surgamu.
Jadi sudah saatnya bagi kita
untuk mengubah tiga impian teratas menjadi lebih realistis.
Muda banyak amalnya. Tua banyak
hikmahnya. Mati masuk surga.
Bagi saya, inilah Prestasi Sejati yang sebenarnya….
Selamat berkarya saudaraku. Semoga
kita dipertemukan di puncak gunung cita-cita, di jannah-Nya kelak. Amin.
Oleh : Toni Tegar Sahidi – Mentor
Fakultas MIPA Universitas Brawijaya



1 komen:
luar biasa
Posting Komentar