Rabu, 15 Desember 2010

Arti Sebuah Kejujuran

Mubarok namanya. Seorang pekerja kebun delima yang begitu jujur dalam kesehariannya. Tak hanya jujur, ia pun begitu amanah. Jujur dalam diamnya. Jujur dalam ucapannya.

Suatu hari, majikannya-pemilik kebun tersebut-mendatanginya, kemudian mengatakan, "Hai Mubarok, aku ingin satu buah delima yang manis."

Bergegaslah Mubarok menuju salah satu pohon dan memetik salah satu buah delima, kemudian menyerahkan buah tersebut kepada tuannya yang menunggunya. Ketika majikannya memecahkannya, ia mendapatkan buah delima itu masih masam, lantas memarahi Mubarok. "Aku memintamu buah yang manis, malah kau beri yang masih asam! Cepat, ambilkan yang manis!"


Dengan patuh Mubarok pun segera memetik buah dari pohon yang lain. Setelah dipecahkan oleh majikannya, ternyata buah delima yang ia terima pun masih berasa asam. Tentu saja majikannya marah tak kepalang. Sekali lagi disuruhnya Mubarok memetik buah delima yang lain, dan dengan patuh Mubarok melakukannya. Namun lagi-lagi buah itu terasa asam. "Kamu ini apa tidak tahu, mana delima yang manis, dan mana yang asam?" Tanya majikannya keheranan.

"Tidak." kata Mubarok menjawab.

 "Bagaimana bisa seperti itu?"

"Sebab saya tidak pernah makan buah dari kebun ini sampai saya benar-benar mengetahui (kehalalan)-nya."

"Kenapa engkau tidak mau memakannya?" tanya majikannya lagi.

"Karena Anda belum mengijinkan saya untuk makan dari kebun ini."

Terheran-heran lah sang majikan mendengar pengakuan Mubarok. Dalam hatinya, ia merasa bahwa Mubarok memang istimewa, dan bertambahlah derajat Mubarok di hatinya. Ia pun bertanya perihal anaknya yang banyak dilamar orang, "Wahai Mubarok, menurutmu siapa yang pantas memperistri putriku ini?"

"Dulu orang-orang jahiliyah menikahkan putri-putri mereka lantaran keturunan, orang Yahudi lantaran harta, sedangkan orang Nashrani lantaran keelokan paras. Dan umat ini menikahkan lantaran agama."

Sang majikan kembali takjub dengan pemikiran tersebut. Akhirnya majikan tadi pergi dan memberitahu istrinya, "Menurutku, tidak ada yang lebih pantas untuk putri kita ini selain Mubarok."

Demikianlah, Mubarok pun akhirnya dinikahkan dengan anak majikannya, dan mewarisi harta yang banyak. Buah perkawinan lantaran kejujuran tersbut, adalah Abdullah bin Mubarok; seorang alim, pakar hadits, zuhud sekaligus mujahid. Sampai-sampai Al Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah mengatakan - seraya bersumpah dalam perkataannya-, "Demi pemilik Ka'bah, kedua mataku belum pernah melihat orang yang semisal Ibnu Mubarok."
******
Hari itu masih pagi, walau sudah menjelang siang. Saya menyempatkan sebentar ke kampus, sekitar dua jam sebelum kuliah dimulai, dan menemukan teman-teman yang sedang berkumpul. Ketika saya mendatangi mereka, saya mendapati mereka yang sedang mengerjakan tugas.

"Kalian sudah mengerjakan tugas terpel?" "Sudah, ini punyaku ada."

Saya ragu memandangnya. Tugas kali ini memang cukup penting, bisa dibilang sebagai nilai akhir. Kalau tidak ada nilai tugas ini, nilai mata kuliah terpel (yang katanya sulit itu) yang sudah anjlok, tentu akan semakin anjlok. Mengerjakan sendiri pun tentu tidak akan cukup. Akhirnya saya membuat keputusan untuk mencontek milik teman, yang teman tersebut pun mencontek dari temannya yang lain.

Namun perasaan bersalah itu masih ada. Akhirnya saya menambahkan sedikit catatan di akhir lembaran tersebut. "Mas, saya nyonto ^^. Kalau bisa nilainya dikurangi ya."

Kontan teman-teman yang melihat perbuatan saya tertawa. "Terlalu jujur kau!" Ah, saya malu juga dibuatnya. Namun saya tetap pada pendirian saya. Teman-teman berinisiatif menghapusnya, namun saya melarangnya. Biarlah kemudian sang asisten dosen mengetahuinya. Semoga nilai saya kemudian memang dikurangi.
******
Miris sekali mendengar perkataan teman-teman tersebut. "Terlalu jujur kau!". Ah, benarkah ada yang dinamakan "terlalu jujur"? Saya rasa tidak. Yang ada hanya ada "kurang jujur" atau "jujur" saja. Bila kemudian yang dimaksud teman-teman saya itu "terlalu jujur" artinya "jujur", lalu seperti apa "jujur" menurut teman-teman saya?

Jujur, seharusnya memang bukan perkara yang sulit. Banyak penelitian yang kemudian mengatakan bahwa pada hakikatnya jujur itu baik bagi kesehatan. Berbohong buruk bagi kesehatan. Karena bila diandaikan jujur itu sebagai aliran air, tentu berbohong bagaikan melawan arusnya. Bukankah peneliti zaman sekarang bermaksud menemukan alat pendeteksi bohong, karena diketahui orang yang berbohong mengalami detak jantung yang tidak wajar?

Jujur, seharusnya dimulai dari perubahan pola pikir kita. Banyak yang kemudian mengatakan jujur itu sulit. Padahal tidak. Namun perkataannya lah yang mempersulit jujur tersebut. Banyak yang menganggap jujur adalah utopia orang-orang terbaik. Tapi jujur bukan hanya hak mereka, bukan? Kita pun, sebagai orang-orang biasa pun berhak, dan memiliki kewajiban untuk jujur.

Jujur, seharusnya dimulai dari hal-hal kecil. Tak perlu lah kemudian harus memaksakan diri untuk jujur pada hal-hal besar, yang begitu berat kita berlaku jujur di dalamnya. Jujur bisa dimulai dengan tidak melakukan TA (titip Absen), tidak nyontek (saya lebih senang tidak mengumpulkan tugas daripada mencontek), membayar parkir, tidak menyerobot antrian, dan jujur-jujur lain yang terlihat remeh. Ah, jangan remehkan hal-hal remeh. Bukankah pernah seorang pezina kemudian dimasukkan ke surga, hanya karena ia memberi minum anjing yang kehausan?

Jujur. Mari kita mulai berlaku yang jujur. Bukan hanya untuk diri sendiri. Mari pula kita sebarkan jujur-jujur tersebut kepada saudara-saudari kita. Kepada lingkungan kita. Agar kemudian sesuatu yang bernama "kejujuran" bukan lagi hal yang dianggap utopia, bukan lagi dianggap hal yang sulit.

Lalu bersyukurlah bila ketika kita mengajak orang berbuat jujur, mereka pun berbuat jujur. Bersyukur pula bila mereka mengajak orang lain untuk berlaku jujur pula. Mari tebarkan kejujuran. Semoga kejujuran yang kita lakukan dapat membantu kita dalam perjalanan yang penuh dengan kesulitan kelak. Amin.

Jujurlah.

Walau kemudian jujur itu pahit. Walau kemudian jujur itu menyedihkanmu.

3 komen:

Requaza mengatakan...

Subhanallah.. astaghfirullah...

Unknown mengatakan...

saya jadi malu yang tiap hari nitip absen,.. hmm..

Sofyani Wulansari mengatakan...

jujur dalam menimba ilmu Allah (kuliah) itu mutlak. (cerita dikit yee) pernah suatu hari saya tidak mengikuti mata kuliah proglin (yg menurut tmen2 dan sy sepakat : danger). hal itu lantaran saya belum mengerjakan tugas kelompok sementara semua kelompok saya sudah out(baca:bolos) saat itu. akhirnya saya juga ikut. karena saya PJ matkul proglin, saya yg pegang absensinya. seorang teman meminta absen yg akan saya serahkan ke TU.
" loh, kamu belum absen?"
"belum, kan aku nggak masuk tadi"
"absennya lo, yang megang kamu. udah, absen saja. sebelum km kasih ke TU"
"nggak ah. ntar IPku nggak barokah lg"
teman lain menyahut,
"tuh, dengerin. iya kalo km kerjanya TA ajaa"
sy jadi malu. tapi memang itulah hal remeh yg coba saya bangun dr awal kuliah. sy lebih suka menggunakan jatah bolos (utk keperluan2 mendesak) daripada minta di-TA-kan. bukankah TA itu berarti tlh membohongi dosen, pegawai TU? yang itu berarti membohongi orang tua kita. na'udzubillah..
:D

Posting Komentar